saya tidak berlari terengah-engah, melainkan berjalan terengah-engah. suasana sore yang cerah ini nampak mendung di mata saya. hilir mudik pegawai kantoran dengan berbagai macam gaya terlihat dengan raut muka yang lelah. saya ingin membantu mereka yang lelah itu, tapi apa daya? saya pun sebenarnya berada di dalam katagori mereka, lelah.
halte busway sudah penuh dengan puluhan kepala. karena penuh itulah emosi gampang tersulut. seorang bapak dengan mudahnya mengeluarkan kata-kata kasar kepada wanita yang kira-kira paruh baya. ya, lagi-lagi saya tidak dapat berbuat apa-apa karena saya lelah. lebih baik saya tetap tertib antri dan kembali mendengarkan lantunan The Beatles.
akhirnya saya naik ke dalam bus merah itu. terhimpit, dihimpit, dan menghimpit. saya berusaha tidak peduli. terus saja saya berdiri sampai akhirnya saya bingung sendiri. kata orang bijak, "malu bertanya, sesat di jalan". ya sudahlah saya bertanya kepada petugasnya, "Pak, kalau mau transit ke Dukuh Atas turun dimana yah?" "Ya di Dukuh Atas, Bu" hey, memang saya sudah ibu-ibu? Oh iya saya lupa kalau pakaian saya tidak mencerminkan umur saya. lagi-lagi ya sudahlah. Apa mau dikata.
Walaupun lelah, saya tetap menikmati kesendirian sepulang kerja, sama seperti keinginan impulsif saya setiap saat. Saya tidak iri melihat berbagai macam kepala berbincang-bincang dengan kepala lain. Tapi ada satu yang saya rasa aneh. Apa yah? Ah iya. Itu dia. Mata itu terus tertuju kepada saya. Seorang pria berbadan tinggi, tegap, persis seperti pemain bola basket di televisi. Terbalut rapi dalam kemeja putih bersih, celana bahan abu-abu, dan sepatu hitam mengkilat. sekilas saya berpikir dia adalah bos dalam satu departemen di perusahaannya, tapi ya sudah saya berhenti membuat spekulasi.
Halte transit pun tiba. Saya segera turun karena perjalanan masih panjang. berjalan tergesa-gesa diiringi langkah kaki lain. waw ternyata antrian sangat panjang. sangaaaaaaaaaaaaaaaaaatttttt panjaaaaaaaaaaaannnnnnnnng. Loh, si cowo itu ternyata mau transit juga. saya percepat langkah saya dan masuk ke dalam baris antrian. Loh, si cowo itu antri tepat di belakang saya. Tiba-tiba dia memulai pembicaraan. Kurang lebihnya pembicaraan mengenai jalur busway. karena saya tidak fasih rute busway, jadi saya hanya senyum-senyum saja.
Oh arah kita sama. itu yang saya tangkap dari pembicaraan yang kurang jelas tersebut. akhirnya, setelah menunggu beberapa lama saya masuk ke dalam bus yang sekarang bukan berwarna merah lagi, melainkan abu-abu. dan, loh? ko si cowo itu berdiri tepat di samping saya lagi yah? sebuah kebetulan atau kesengajaan? biarin deh. saya terus berdiri sambil mendengarkan Radiohead di iPod. tiba-tiba dia memulai percakapan lagi dan saya kembali larut dalam percakapan tersebut. oke akhirnya pecakapan itu selesai. dan dia tiba-tiba bertanya "Ada nomer telepon?"
***
percintaan saya bukan di atas busway
bukan di antara penuh dan sesaknya himpitan para penumpang
dan di antara napas yang terengah-engah
menggantung waktu, aku hanya berharap untuk mengetahui itu hanyalah pertanyaan
mencubit diri hanya untuk memastikan seharusnya tidak begini kalau aku tak salah mengartikan.
ps: dua minggu lalu kita bertemu dan berjanji, tetap setia menjaga rasa ini.
♥dinadinc
5 komentar:
eh ini cerpen ato real story ya?! ehem ... hehe
heheh saya tidak pandai mengarang cerpen bung raka hehe
hhahhahhahhahhahhahhahhahhahha seru.seruu...
hhahhahhahhahhahhahhahha
seru.seru...
HUAHAHHAHAHAHAHAHAHAHAAH
Posting Komentar